27 Maret.
27 Maret 1625, adalah momen dimana Charles I
menjadi raja Inggris, Skotlandia, dan Irlandia, dan mendapat gelar "King
of France".
27 Maret 1899, adalah ketika Emilio Aguinaldo,
seorang revolusioner, yang merupakan presiden dari republik Filipina yang
pertama, memimpin prajurit Filipina dalam perang melawan Amerika di sungai
Marilao.
tapi,
27 Maret 1964, dikenal sebagai "The good
friday earthquake", adalah sebuah gempa bumi terkuat dalam sejarah Amerika
Serikat, yang menyerang Alaska, dan merenggut nyawa 125 orang.
27 Maret 1986, sebuah mobil yang membawa bom,
meledak di Russell Street Police Headquarters di Melbourne, merenggut seorang
police officer dan 21 orang.
...
27 Maret 1998
Adalah hari ketika gue
lahir. Bukan tanggal yang penting bagi sejarah dunia, dan entah apakah tanggal
itu akan menjadi penting nantinya. Gue lahir di sebuah kota bernama Cilegon,
kota kecil yang kata orang jalannya cuma lurus aja. Nggak salah, tapi nggak
bener juga. Itu karena mungkin kalian ngelewatin Cilegon cuma mau ke pelabuhan
Merak aja, jadinya lurus doang. Sebenernya sih,
ya memang jalan yang paling sering dilewati itu jalan utama yang jalurnya
memang luruuus aja.
Gue
lahir di sebuah rumah sakit bernama Rumah Sakit Krakatau Steel (yang sekarang
telah berganti nama menjadi Rumah Sakit Krakatau Medika) pada pukul 5 sore,
kata nyokap waktu itu pas banget sirine PT. Krakatau Steel lagi bunyi pertanda
jam pulang orang kantoran. Jadi sebenernya gue harusnya lahir kalau nggak salah
masih 2-3 hari lagi, tapi karena nyokap nakal minum obat Fatimah (gue lupa),
siang sebelum gue lahir nyokap jadi mules-mules, dan akhirnya “mojrot”-lah gue
kedalam dunia ini.
Waktu
lahir, gue menangis selayaknya bayi biasa, dan sampe sekarang gue bingung
kenapa setiap bayi yang baru lahir itu langsung nangis (atau gue kebanyakan
nonton film). Mungkin mereka menyesal telah lahir ke dunia yang sama dengan
gue. Apa sih.
Akhirnya
dengan pertimbangan yang cukup panjang antara gue alpha dan beta version dari
diri gue (baca: kakek dan bapak), gue diberi nama Dani Hadi Saputro. “Dani”
merupakan nama wayang, “Hadi” adalah nama keluarga gue—yang walaupun nggak juga
sih, dan “Saputro” artinya putra atau anak laki-laki. Awalnya gue mau dikasih
nama Pringgodani, tapi nggak jadi. Padahal kerenan Pringgodani. Heu. Kenapa
kali.
Gue
tumbuh menjadi anak yang aktif tapi juga penyendiri.
Sejak
lahir, gue udah punya pengasuh, yang sekaligus menjadi Pembantu Rumah Tangga
(PRT) di keluarga gue. Panggilannya mbak Roh. Temen-temen gue TK, SD, SMP,
nggak ada yang nggak tahu mbak Roh. Ini karena dari kecil banget gue udah
ditinggal kerja sama nyokap dan bokap gue, alhasil hampir seluruh waktu gue
dilewatin sama mbak Roh. Waktu belum masuk PlayGroup, kegiatan gue sehari-hari
cuma jalan-jalan sekitar komplek, nemenin mbak Roh beli sayur, ngeliatin kakak
gue main PlayStation kalo dia udah pulang sekolah, sama berak di karpet ruang
tamu. Yes I did landed my shit on the carpet so many times. Dunno why but it
feels great.
Masuk
fase PlayGroup dan Taman Kanak-kanak. Gue menempuh masa-masa itu di sebuah PG
& TK Al-Muhajirin, yang letaknya lumayan jauh dari rumah, padahal masih
satu komplek perumahan. Gue nggak inget terlalu banyak tentang kisah PlayGroup
dan TK gue, karena kerjaan gue cuma dateng, dan sesampainya di kelas pasti ada
salah satu anak yang orangnya jail banget, setelah itu dia pasti ngejailin gue
dan gue nangis. Lalu nggak lama kemudian, guru gue nelfon rumah dan datanglah
mbak Roh menjemput gue pulang. Udah, gitu-gitu terus tiap hari. Pasti nangis.
Mellow lu dan. Etdah. Tapi itu adalah rutinitas yang menyenangkan, karena
sesampainya dirumah, gue yang saat itu mulai mengerti sedikit-sedikit cara
bermain PlayStation, pasti langsung nyalain game PepsiMan. Mantep banget dah
itu game.
Ada
suatu ketika, dimana gue terlalu bersemangat datang ke Al-Muhajirin. Gue dateng
pukul 06.30, sedangkan kegiatan belajar dimulai pukul 08.00. Kurang rajin apa
coba. Ketika gue menapaki lingkungan TK, gue nggak melihat siapapun, kecuali
tukang sapu, pohon beringin, kelas-kelas yang masih kosong, dan ayunan yang
seolah berkata, “Elu ngapain dateng jam segini, bego?”. Gue yang memang suka
menikmati kesendirian, duduk di ayunan itu sambil melihat ke alam sekitar.
Pelan-pelan gue mengayun di ayunan tersebut, dan semakin lama gue duduk disitu,
hawa dari pohon beringin semakin gak enak. Serius. Gue juga anaknya penakut
(sampe sekarang), dan akhirnya itulah yang membuat gue beranjak dari ayunan
tersebut setelah sekitar beberapa belas menit duduk disitu. Bapak-bapak yang
tadi terlihat sedang menyapu, baru saja beranjak pergi dengan motornya.
Alhasil, jadilah gue disitu sendirian. Gue masih mencoba memberanikan diri
dengan berjalan menyusuri lorong Al-Muhajirin. Entah kenapa gue suka banget
suasana sepi, sunyi, damai, sejak kecil. Rasa takut terhadap pohon beringin
mulai ilang, berganti rasa bingung. ‘Ini sebenernya libur kali ya?’ batin gue.
Akhirnya gue sampai di ujung lorong, yang disitu terdapat kandang iguana, yang
tentunya ada iguana-nya. Gue ngeliatin iguana itu cukup lama, mungkin 10
menitan. Sampai akhirnya karena terlampau bosan, gue mengambil sebuah ranting
yang jatuh dan mengudek-ngudek hidung iguana tersebut. Hehe.
Gak
lama, rasa bosan kembali menyerang gue. Akhirnya gue balik lagi untuk melihat
sekiranya sudah ada teman yang datang. Ternyata belum. Akhirnya muncullah suatu
ide untuk pulang ke rumah dan melanjutkan main HarvestMoon. Tapi apa daya,
rumah gue jaraknya mungkin 5-6km dari Al-Muhajirin, dan butuh setidaknya naik
angkot satu kali. Gue kemudian duduk sejenak untuk memikirkan. Lama-lama
terpikir bahwa tidak akan ada efeknya jika tidak melakukan apa-apa. Akhirnya
aku beranikan diri untuk beranjak dan pulang ke rumah. Kurang hebat apa coba,
mau pulang sendiri jalan kaki. Udah gitu nggak bisa naik angkot pula, kan nggak
punya duit. Dengan mantap aku beralan menyusuri rumah-rumah di perumahan KS.
Sebenernya diri ini udah pengen nangis karena nggak tau mau ngapain lagi,
selain nekat. Tapi gue ngerasa gue nggak boleh nangis, entah kenapa. Padahal
sehari-hari juga nangis. Setelah belokan pertama dari Al-Muhajirin, ketika gue
menyusuri rumah-rumah di jalan Baja IV (kalau gak salah), ada seorang ibu-ibu
yang memanggil gue dari dalam rumahnya, dan mengisyaratkan gue untuk mampir
sejenak. Gue percaya dia orang baik-baik, karena dia tinggal di komplek
perumahan ini. Aura nya juga aura orang baik. Anak kecil nggak bisa diboongin.
Ibu
itu bertanya kenapa gue pulang sendiri, gue darimana dan mau kemana, dan nomor
telepon rumahnya berapa. Untungnya saat itu gue udah berhasil mengingat nomor
telepon rumah gue sendiri. Dia pun menelpon rumah gue, dan terdengar suara mbak
Roh di ujung sana.
“Halo,
apa benar ini rumahnya Dani?”
“Iya,
ada apa ya?” Tanya mbak Roh dengan nada panik.
“Ng…
Nganu, ini anaknya tadi saya lihat jalan sendirian di depan rumah, katanya mau
pulang karena dateng sekolahnya kepagian, rumah saya di blablablabla…. Oke oke.”
Kata Ibu itu. Setelah itu, ia menutup teleponnya dan meletakkannya kembali di
tempatnya.
“Udah,
nggak papa. Bentar lagi mbak kamu jemput kesini kok.” Ibu itu berusaha untuk
melembutkan mungkin sebisanya untuk membuat gue tetap tenang.
Tapi,
entah kenapa gue malah nangis. Gue juga nggak ngerti kenapa gue nangis. Aneh.
Mungkin karena gue lagi pengen mandiri eh ternyata malah dijemput.
Hmmmmmmm…
Tidak ada komentar
Posting Komentar