Sabtu, 22 Oktober 2016

Daydreams: Me.

Gue suka menyendiri.

Entah kenapa, menyendiri itu sangat membuat gue tenang, dan ngerasa kalo inilah gue yang sebenarnya.

Gue menyendiri bukan karena gue membenci orang sekitar, tapi karena gue emang seneng suasana sendiri.

Emang, gue berusaha untuk blend aja sama orang-orang sekitar. Untuk orang yang baru kenal sama gue, biasanya mereka memandang gue sebagai orang yang seneng bergaul dengan orang banyak. Itu nggak salah, karena gue emang anaknya sok asik. Tapi gue seneng, karena dengan demikian gue jadi punya banyak relasi, yang mungkin bakal jadi orang-orang hebat nantinya. Bukan bermaksud muka dua, cuma ya memang inilah gue. Gue menyenangkan, tapi cukup gue yang menyenangkan aja yang kalian kenal. Hehe.

Cuma ngeliatin pemandangan sekitar, walaupun itu cuma langit-langit kamar yang tiap hari gue liat, bikin gue nyaman.

Dengerin suara yang dihasilin sama alam sekitar juga sangat membantu gue untuk rileks.

Intinya, I love watching my surroundings.

Dalam penglihatan kalian, mungkin gue akan terlihat seperti "bengong".

Padahal nggak.
Nggak tau juga sih.

Gue memikirkan banyak banget hal ketika lagi "bengong", dari hal-hal yang mungkin lagi gue alami, mungkin tentang kehidupan gue sekarang, kehidupan gue 20 tahun lagi bakal kayak gimana, sampe pemikiran nggak jelas, kayak seberapa besar dan megahnya alam semesta itu, seberapa kecilnya kita, ada lagi kayak apa yang bakal terjadi kalo begini dan begitu. Macem-macem deh.

Dan semoga di tulisan-tulisan gue selanjutnya, gue bisa ngeshare apa yang gue "bengong"in. Itung-itung menyuarakan aspirasi gue sebagai sebuah makhluk hidup yang diberi akal pikiran.

-
Tapi gue nggak suka sendirian.
Gue nggak suka berada sendirian "physically". But mentally, i love being alone. I'm scared of spiritual shits TBH. Aneh ya, suka menyendiri tapi nggak suka sendiri.

Dan salah satu impian gue adalah punya seseorang yang bisa nemenin gue disaat gue lagi menyendiri. Nggak harus berkomunikasi, yang penting cuma keberadaan orang itu disekitar gue. Gue justru akan seneng kalo orang itu sibuk sendiri, jadi dia nggak bakal bosen nemenin gue. Dan gue jadi punya tontonan juga.

Entah orang itu bakal jadi kenyataan atau nggak, gue cuma bisa bermimpi. Semoga kelak mimpi itu jadi nyata. Aamiin.

Jumat, 14 Oktober 2016

Childhood: A Little Peek

27 Maret.

27 Maret 1625, adalah momen dimana Charles I menjadi raja Inggris, Skotlandia, dan Irlandia, dan mendapat gelar "King of France".

27 Maret 1899, adalah ketika Emilio Aguinaldo, seorang revolusioner, yang merupakan presiden dari republik Filipina yang pertama, memimpin prajurit Filipina dalam perang melawan Amerika di sungai Marilao.

tapi,

27 Maret 1964, dikenal sebagai "The good friday earthquake", adalah sebuah gempa bumi terkuat dalam sejarah Amerika Serikat, yang menyerang Alaska, dan merenggut nyawa 125 orang.

27 Maret 1986, sebuah mobil yang membawa bom, meledak di Russell Street Police Headquarters di Melbourne, merenggut seorang police officer dan 21 orang.

...

27 Maret 1998
Adalah hari ketika gue lahir. Bukan tanggal yang penting bagi sejarah dunia, dan entah apakah tanggal itu akan menjadi penting nantinya. Gue lahir di sebuah kota bernama Cilegon, kota kecil yang kata orang jalannya cuma lurus aja. Nggak salah, tapi nggak bener juga. Itu karena mungkin kalian ngelewatin Cilegon cuma mau ke pelabuhan Merak aja, jadinya lurus doang. Sebenernya sih, ya memang jalan yang paling sering dilewati itu jalan utama yang jalurnya memang luruuus aja.
Gue lahir di sebuah rumah sakit bernama Rumah Sakit Krakatau Steel (yang sekarang telah berganti nama menjadi Rumah Sakit Krakatau Medika) pada pukul 5 sore, kata nyokap waktu itu pas banget sirine PT. Krakatau Steel lagi bunyi pertanda jam pulang orang kantoran. Jadi sebenernya gue harusnya lahir kalau nggak salah masih 2-3 hari lagi, tapi karena nyokap nakal minum obat Fatimah (gue lupa), siang sebelum gue lahir nyokap jadi mules-mules, dan akhirnya “mojrot”-lah gue kedalam dunia ini.
Waktu lahir, gue menangis selayaknya bayi biasa, dan sampe sekarang gue bingung kenapa setiap bayi yang baru lahir itu langsung nangis (atau gue kebanyakan nonton film). Mungkin mereka menyesal telah lahir ke dunia yang sama dengan gue. Apa sih.
Akhirnya dengan pertimbangan yang cukup panjang antara gue alpha dan beta version dari diri gue (baca: kakek dan bapak), gue diberi nama Dani Hadi Saputro. “Dani” merupakan nama wayang, “Hadi” adalah nama keluarga gue—yang walaupun nggak juga sih, dan “Saputro” artinya putra atau anak laki-laki. Awalnya gue mau dikasih nama Pringgodani, tapi nggak jadi. Padahal kerenan Pringgodani. Heu. Kenapa kali.

Gue tumbuh menjadi anak yang aktif tapi juga penyendiri.

Sejak lahir, gue udah punya pengasuh, yang sekaligus menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT) di keluarga gue. Panggilannya mbak Roh. Temen-temen gue TK, SD, SMP, nggak ada yang nggak tahu mbak Roh. Ini karena dari kecil banget gue udah ditinggal kerja sama nyokap dan bokap gue, alhasil hampir seluruh waktu gue dilewatin sama mbak Roh. Waktu belum masuk PlayGroup, kegiatan gue sehari-hari cuma jalan-jalan sekitar komplek, nemenin mbak Roh beli sayur, ngeliatin kakak gue main PlayStation kalo dia udah pulang sekolah, sama berak di karpet ruang tamu. Yes I did landed my shit on the carpet so many times. Dunno why but it feels great.

Masuk fase PlayGroup dan Taman Kanak-kanak. Gue menempuh masa-masa itu di sebuah PG & TK Al-Muhajirin, yang letaknya lumayan jauh dari rumah, padahal masih satu komplek perumahan. Gue nggak inget terlalu banyak tentang kisah PlayGroup dan TK gue, karena kerjaan gue cuma dateng, dan sesampainya di kelas pasti ada salah satu anak yang orangnya jail banget, setelah itu dia pasti ngejailin gue dan gue nangis. Lalu nggak lama kemudian, guru gue nelfon rumah dan datanglah mbak Roh menjemput gue pulang. Udah, gitu-gitu terus tiap hari. Pasti nangis. Mellow lu dan. Etdah. Tapi itu adalah rutinitas yang menyenangkan, karena sesampainya dirumah, gue yang saat itu mulai mengerti sedikit-sedikit cara bermain PlayStation, pasti langsung nyalain game PepsiMan. Mantep banget dah itu game.
Ada suatu ketika, dimana gue terlalu bersemangat datang ke Al-Muhajirin. Gue dateng pukul 06.30, sedangkan kegiatan belajar dimulai pukul 08.00. Kurang rajin apa coba. Ketika gue menapaki lingkungan TK, gue nggak melihat siapapun, kecuali tukang sapu, pohon beringin, kelas-kelas yang masih kosong, dan ayunan yang seolah berkata, “Elu ngapain dateng jam segini, bego?”. Gue yang memang suka menikmati kesendirian, duduk di ayunan itu sambil melihat ke alam sekitar. Pelan-pelan gue mengayun di ayunan tersebut, dan semakin lama gue duduk disitu, hawa dari pohon beringin semakin gak enak. Serius. Gue juga anaknya penakut (sampe sekarang), dan akhirnya itulah yang membuat gue beranjak dari ayunan tersebut setelah sekitar beberapa belas menit duduk disitu. Bapak-bapak yang tadi terlihat sedang menyapu, baru saja beranjak pergi dengan motornya. Alhasil, jadilah gue disitu sendirian. Gue masih mencoba memberanikan diri dengan berjalan menyusuri lorong Al-Muhajirin. Entah kenapa gue suka banget suasana sepi, sunyi, damai, sejak kecil. Rasa takut terhadap pohon beringin mulai ilang, berganti rasa bingung. ‘Ini sebenernya libur kali ya?’ batin gue. Akhirnya gue sampai di ujung lorong, yang disitu terdapat kandang iguana, yang tentunya ada iguana-nya. Gue ngeliatin iguana itu cukup lama, mungkin 10 menitan. Sampai akhirnya karena terlampau bosan, gue mengambil sebuah ranting yang jatuh dan mengudek-ngudek hidung iguana tersebut. Hehe.
Gak lama, rasa bosan kembali menyerang gue. Akhirnya gue balik lagi untuk melihat sekiranya sudah ada teman yang datang. Ternyata belum. Akhirnya muncullah suatu ide untuk pulang ke rumah dan melanjutkan main HarvestMoon. Tapi apa daya, rumah gue jaraknya mungkin 5-6km dari Al-Muhajirin, dan butuh setidaknya naik angkot satu kali. Gue kemudian duduk sejenak untuk memikirkan. Lama-lama terpikir bahwa tidak akan ada efeknya jika tidak melakukan apa-apa. Akhirnya aku beranikan diri untuk beranjak dan pulang ke rumah. Kurang hebat apa coba, mau pulang sendiri jalan kaki. Udah gitu nggak bisa naik angkot pula, kan nggak punya duit. Dengan mantap aku beralan menyusuri rumah-rumah di perumahan KS. Sebenernya diri ini udah pengen nangis karena nggak tau mau ngapain lagi, selain nekat. Tapi gue ngerasa gue nggak boleh nangis, entah kenapa. Padahal sehari-hari juga nangis. Setelah belokan pertama dari Al-Muhajirin, ketika gue menyusuri rumah-rumah di jalan Baja IV (kalau gak salah), ada seorang ibu-ibu yang memanggil gue dari dalam rumahnya, dan mengisyaratkan gue untuk mampir sejenak. Gue percaya dia orang baik-baik, karena dia tinggal di komplek perumahan ini. Aura nya juga aura orang baik. Anak kecil nggak bisa diboongin.
Ibu itu bertanya kenapa gue pulang sendiri, gue darimana dan mau kemana, dan nomor telepon rumahnya berapa. Untungnya saat itu gue udah berhasil mengingat nomor telepon rumah gue sendiri. Dia pun menelpon rumah gue, dan terdengar suara mbak Roh di ujung sana.
“Halo, apa benar ini rumahnya Dani?”
“Iya, ada apa ya?” Tanya mbak Roh dengan nada panik.
“Ng… Nganu, ini anaknya tadi saya lihat jalan sendirian di depan rumah, katanya mau pulang karena dateng sekolahnya kepagian, rumah saya di blablablabla…. Oke oke.” Kata Ibu itu. Setelah itu, ia menutup teleponnya dan meletakkannya kembali di tempatnya.
“Udah, nggak papa. Bentar lagi mbak kamu jemput kesini kok.” Ibu itu berusaha untuk melembutkan mungkin sebisanya untuk membuat gue tetap tenang.

Tapi, entah kenapa gue malah nangis. Gue juga nggak ngerti kenapa gue nangis. Aneh. Mungkin karena gue lagi pengen mandiri eh ternyata malah dijemput.

Hmmmmmmm…
© An airhead's words.
Maira Gall